N
ama Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari tidak bisa dilepaskan dari sejarah penyebaran dan pengembangan ilmu tasawuf di Nusantara, khususnya di Kalimantan Selatan. Ulama sufi ini tidak hanya dikenal di wilayah lokal, tetapi juga memiliki pengaruh hingga ke Asia Tenggara. Kitab karyanya menjadi rujukan penting dalam kajian tasawuf, tarekat, dan tauhid.
Keturunan Raja, Ilmu Warisan Ulama
Menurut buku Ulama Banjar dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh UIN Antasari Banjarmasin bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan, Syekh Muhammad Nafis diperkirakan lahir pada tahun 1735 M (1148 H) di Martapura, Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan Kerajaan Banjar.
Ia merupakan keturunan langsung dari Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera), Raja Banjar pertama yang memeluk Islam. Silsilahnya yang panjang menghubungkan dirinya dengan para sultan Banjar, menunjukkan bahwa ia berasal dari garis keturunan yang mulia dan religius.
Sezaman dengan Syekh Arsyad Al-Banjari
Syekh Muhammad Nafis hidup sejaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Jika Syekh Arsyad dikenal sebagai ulama syariat dengan karya monumental Sabilal Muhtadin, maka Syekh Nafis adalah tokoh utama dalam bidang tasawuf, dengan kitabnya Ad-Durrun Nafis (Permata yang Berharga).
Beliau wafat sekitar tahun 1812 dalam usia sekitar 77 tahun dan dimakamkan di Desa Mahar Kuning Binturu, Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Hingga kini, makamnya menjadi tempat ziarah dan dikenang sebagai ulama besar yang membawa pencerahan ke daerah pedalaman Banua.
Kitab Ad-Durrun Nafis: Permata dalam Dunia Tasawuf
Salah satu warisan terbesar Syekh Muhammad Nafis adalah kitab Ad-Durrun Nafis. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawi (Arab Melayu), memudahkan pembaca Nusantara yang belum menguasai bahasa Arab. Judul lengkapnya adalah Durrun Nafis fi Bayan Wahdah al-Af’al, al-Asma, wa as-Shifat wa az-Zat at-Taqdis.
Kitab ini mengulas konsep-konsep ketuhanan secara mendalam: tauhid af’al, sifat, asma, hingga tauhid zat, sesuai dengan tradisi sufi arifin. Ajarannya mengikuti jalan para sufi besar dunia, seperti Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, dan menunjukkan bahwa Syekh Muhammad Nafis memiliki wawasan keilmuan tasawuf tingkat tinggi.
Kitab ini telah dicetak dan diterbitkan oleh berbagai penerbit ternama, baik di Mekah, Mesir, Malaysia, maupun Indonesia, sejak awal abad ke-20. Hingga kini, Ad-Durrun Nafis masih dipelajari di pesantren dan majelis taklim di Asia Tenggara.
Jalan Sufi yang Aktif dan Kritis
Berbeda dari stereotip bahwa tasawuf adalah ajaran yang pasif dan menjauh dari realitas sosial, Syekh Muhammad Nafis justru mengajarkan pentingnya sikap aktif dalam menghadapi kehidupan. Menurutnya, seorang Muslim sejati harus berusaha keras memperbaiki diri dan masyarakat, bukan hanya berserah pada takdir.
Semangat ini kemudian melahirkan keberanian dan daya juang, hingga dipercaya bahwa kitab Ad-Durrun Nafis membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Bahkan, disebut-sebut bahwa setelah membaca kitab ini, seseorang tidak takut mati karena memahami makna hidup dan tauhid secara lebih dalam.
Hal ini dianggap membahayakan oleh pihak penjajah. Maka, muncul berbagai tuduhan dan larangan terhadap kitab Ad-Durrun Nafis, yang sesungguhnya merupakan siasat Belanda untuk melemahkan semangat jihad umat Islam.
Guru-Guru dan Tarekat
Syekh Muhammad Nafis berguru kepada banyak tokoh sufi besar di Timur Tengah. Di antaranya:
- Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi Al-Mishri (Syekh Al-Azhar pada 1794 M)
- Syekh Siddiq bin Umar Khan (murid Syekh Muhammad Samman)
- Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman Al-Madani
- Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Maghribi
- Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari
Beliau mengamalkan berbagai tarekat, di antaranya Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keberagaman amalan ini menunjukkan keluasan wawasan beliau dalam dunia tasawuf dan spiritualitas Islam.
Pulang dan Berdakwah ke Pedalaman Banua
Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekah, Syekh Muhammad Nafis pulang ke tanah air sekitar tahun 1795 M. Namun, ia memilih menetap di Kelua, daerah yang kala itu belum tersentuh dakwah secara masif. Ada dua dugaan mengenai kepindahan ini: pertama, karena beliau tidak tertarik pada urusan kekuasaan; kedua, karena wilayah Martapura sudah diurus oleh Syekh Arsyad Al-Banjari.
Di Kelua, Syekh Nafis tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk masyarakat yang religius dan tangguh. Kelua kemudian berkembang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Kalimantan Selatan dan turut melahirkan pejuang-pejuang yang menentang penjajahan.
Warisan yang Tak Terlupakan
Hingga kini, nama Syekh Muhammad Nafis tetap harum sebagai ulama sufi yang mengajarkan kedalaman spiritual sekaligus membangkitkan semangat perlawanan. Ia menjadi simbol bagaimana ilmu tasawuf yang mendalam bisa berdampingan dengan keberanian sosial dan politik.
Dalam sejarah ulama Banjar, Syekh Muhammad Nafis adalah tokoh penting seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Jika yang satu memperkuat fondasi syariat, maka yang lain memperhalus dan memperdalam makna batin dari ajaran Islam. Keduanya adalah pilar penting Islamisasi di Kalimantan dan warisan keilmuan mereka tetap hidup hingga hari ini.












