S
ebelum masuk ke kritiknya, mari kita ingat dulu apa itu Hadis. Hadis itu semacam “rekaman” dari perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad ﷺ. Ini penting banget buat umat Islam karena jadi pedoman hidup setelah Al-Qur’an. Bahkan, ibadah harian kita seperti salat, zakat, puasa—semuanya dijelaskan rinci lewat Hadis.
Nah, sejak dulu para ulama sudah kerja keras menyaring mana Hadis yang benar-benar dari Nabi, mana yang palsu. Caranya pun nggak main-main: mereka telusuri siapa yang meriwayatkan Hadis itu, bagaimana akhlaknya, apakah dia pernah berdusta, bahkan apakah dia pernah lupa!
Tapi… ternyata ada juga yang nggak percaya.
Siapa Saja yang “Curiga” Sama Hadis?
Ada sekelompok cendekiawan dari Barat yang disebut orientalis. Mereka ini bukan ulama Islam, tapi banyak meneliti sejarah Islam dari luar. Beberapa nama besarnya antara lain Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A. Juynboll. Kita ulas satu-satu ya.
Ignaz Goldziher: “Hadis Itu Karangan Ulama Zaman Bani Umayyah?”
Goldziher ini seperti detektif sejarah. Ia bilang, banyak Hadis yang beredar, terutama soal hukum, sebenarnya baru muncul 100–200 tahun setelah Nabi wafat. Tujuannya? Menurut dia, untuk mendukung pandangan politik atau mazhab tertentu.
Masalahnya, Goldziher menganggap ulama hanya fokus pada rantai perawi (sanad), tapi tidak kritis terhadap isi (matan).
Apa Jawaban Kita?
Ulama Hadis justru sangat teliti terhadap isi Hadis. Mereka punya ilmu khusus untuk menyelidiki kejanggalan matan, namanya ‘ilal al-hadits. Hadis yang bertentangan dengan Al-Qur’an, akal sehat, atau fakta sejarah, langsung dicoret, meskipun sanad-nya kuat.
Contohnya? Imam al-Bukhari sendiri menyisihkan lebih dari 600.000 Hadis dan hanya menerima sekitar 7.000 (dengan pengulangan). Itu baru satu orang.
Joseph Schacht: “Sanad Itu Rekayasa?”
Kalau Goldziher meragukan isi Hadis, Schacht lebih ekstrem lagi: dia menuduh sanad-nya juga palsu.
Schacht mengajukan teori yang disebut “back-projection”—yakni, ulama abad ke-2 Hijriah merekayasa sanad agar pendapat mereka terlihat berasal dari Nabi.
Bantahannya?
Kalau sanad itu palsu, nggak mungkin bisa ada ribuan perawi yang dicatat lengkap: siapa gurunya, siapa muridnya, akhlaknya bagaimana, tinggalnya di mana. Ulama Hadis seperti Yahya bin Ma’in, al-Dzahabi, dan Ibnu Hajar, menulis biografi ribuan perawi secara detail.
Kalau ini rekayasa, itu artinya ada “tim hoaks” yang sangat jenius dan kompak… selama 300 tahun. Masuk akal?
G.H.A. Juynboll: “Mata Rantai Itu Pusat Pemalsuan?”
Juynboll memperkenalkan konsep Common Link atau “mata rantai bersama”—yaitu perawi yang muncul sebagai pusat di banyak sanad Hadis. Dia curiga: jangan-jangan si perawi inilah pembuat Hadis itu.
Padahal bisa jadi perawi itu memang ulama besar, punya banyak murid, dan aktif mengajarkan Hadis. Wajar kalau namanya sering muncul!
Contohnya Imam al-Zuhri, seorang tabi’in yang sangat produktif. Dia disebut Juynboll sebagai Common Link. Tapi kalau melihat reputasi al-Zuhri di kalangan ulama, hampir semua sepakat: dia orang yang tsiqah (terpercaya).
Faktanya: Ulama Kita Sudah Sangat Ketat
Kalau ada yang bilang Hadis itu rekayasa, kita jawab: justru karena ada potensi pemalsuan, ulama Hadis membuat sistem ketat untuk menyaringnya.
Ilmu Hadis itu kompleks: ada ilmu jarh wa ta’dil (menilai karakter perawi), ilmu ‘ilal (menemukan cacat tersembunyi dalam Hadis), ilmu rijal (mengenal tokoh-tokoh dalam sanad), dan banyak lagi.
Kitab Shahih al-Bukhari misalnya, disusun berdasarkan standar ketat. Imam Bukhari hanya menerima Hadis yang perawinya saling bertemu (liqa’) dan terpercaya semua. Nggak heran kalau para ulama menyebut kitab ini paling sahih setelah Al-Qur’an.
Penutup: Kritik Boleh, Tapi Harus Adil
Kritik dari orientalis memang membuat kita berpikir lebih dalam. Tapi kita juga perlu jujur: pendekatan mereka seringkali sangat skeptis, kadang terlalu fokus pada teori tanpa memahami sistem keilmuan Islam dari dalam.
Memang benar ada Hadis palsu, tapi justru ulama Islam yang pertama kali menyadarinya, menyusun ilmunya, dan membentengi umat darinya.
Kalau ada yang tanya, “Apakah semua Hadis itu asli?” Jawabannya: tidak. Tapi kita punya cara yang ilmiah, sistematis, dan sudah teruji untuk memilahnya.
Itu sebabnya, Hadis tetap jadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam. Ia bukan produk politik. Ia adalah warisan nubuwah—yang dijaga dengan sangat teliti oleh generasi demi generasi.












