S
yekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah sosok ulama besar yang tak hanya dikenang di tanah Banjar, tetapi juga harum namanya di dunia Islam internasional. Ia lahir pada malam Kamis, pukul tiga dini hari, tanggal 15 Shafar 1122 H atau bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Nama kecilnya adalah Muhammad Ja’far, yang kemudian berubah menjadi Muhammad Arsyad saat memasuki usia remaja.
Ayahnya, Abdullah, berasal dari Hindi dan dikenal sebagai seorang ahli pertukangan kayu yang mahir. Ia menetap di Lok Gabang, sebuah kampung yang kelak menjadi saksi awal kecemerlangan sang anak. Konon, bakat seni Arsyad kecil sudah terlihat sejak usia tujuh tahun, ketika lukisannya memikat perhatian Sultan Tahmidullah, penguasa Banjar saat itu. Tak ingin bakat itu terbuang sia-sia, Sultan pun membawa Arsyad ke istana untuk diberikan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan.
Merantau Menuntut Ilmu Hingga ke Mekkah dan Madinah
Menurut buku Ulama Banjar dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh UIN Antasari Banjarmasin dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan, setelah dewasa dan menikah dengan perempuan bernama Tuan Bajut, Syekh Arsyad berangkat ke tanah suci Mekkah. Ia menetap di kampung Syamiah, tempat para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia. Selama lebih dari tiga dekade, Syekh Arsyad menuntut ilmu dari para ulama besar seperti:
- Syekh Murtadho az-Zabidi – ahli hadis dan tasawuf,
- Syekh Sulaiman al-Ahdal – pakar fikih,
- Syekh Salim al-Bashri, dan
- Syekh Hasan al-Yamani.
Dalam bidang tasawuf, ia dibimbing langsung oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani, hingga meraih posisi sebagai Khalifah dalam Tarekat Sammaniyah.
Hampir Ke Mesir, Dicegah oleh Ulama Besar
Syekh Arsyad sempat merencanakan perjalanan ilmiah ke Mesir bersama sahabat-sahabatnya seperti Syekh Abdus Shamad al-Falimbani dan Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi. Namun, rencana itu dibatalkan setelah bertemu ulama besar Mesir, Syekh Sulaiman al-Kurdi, di Madinah. Syekh Kurdi meyakinkan mereka bahwa ilmu dan kapasitas mereka sudah sangat tinggi dan menyarankan agar mereka kembali ke tanah air untuk berdakwah.
Kembali ke Nusantara dan Mendirikan Pusat Pendidikan Islam
Setelah 35 tahun di Timur Tengah, Syekh Arsyad pulang ke Nusantara. Ia sempat tinggal di Batavia (Jakarta), bahkan membetulkan arah kiblat sejumlah masjid seperti Masjid Jembatan Lima, Luar Batang, dan Pekojan. Atas pengetahuannya yang luas, Belanda bahkan memberinya gelar “Tuan Haji Besar”.
Setibanya di Martapura, ia membuka pengajian yang kian hari makin ramai hingga Sultan Banjar memberinya tanah lungguh. Di tempat ini, Syekh Arsyad membentuk Dalam Pagar, sebuah kawasan yang menjadi pusat pendidikan Islam dan pengkaderan ulama. Ia mengajar anak, cucu, kerabat, hingga masyarakat umum.
Syekh Arsyad memiliki 30 anak dari 11 istri. Di antara anak-anak dan cucunya yang menjadi ulama besar adalah:
- Mufti Jamaluddin
- Qadhi Abu Su’ud
- Khalifah Zainuddin
- Muhammad As’ad (cucu), dan
- Fatimah binti Abdul Wahhab Bugisi (cucu)
Mereka kemudian disebar ke berbagai daerah untuk mendirikan langgar dan menyebarkan dakwah.
Membentuk Mahkamah Syariah di Kerajaan Banjar
Dengan persetujuan Sultan Tahmidullah II, Syekh Arsyad membentuk Mahkamah Syariah di Martapura, lengkap dengan struktur Mufti dan Qadhi. Lembaga ini mengatur urusan keagamaan termasuk pernikahan dan waris. Mufti pertamanya adalah cucunya sendiri, Muhammad As’ad.
Karya-Karya Besar yang Terus Hidup
Syekh Muhammad Arsyad menulis banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu:
Bidang Akidah:
- Ushuluddin (1188 H, belum dicetak)
- Tuhfaturraghibin (1188 H, pernah terbit di Mesir)
- Al-Qaulul Mukhtashar fi ‘Alamatil Mahdi al-Muntazhar (1196 H)
Bidang Fikih:
- Luqhatul ‘Ajlan (ditransliterasi dan dicetak 1992)
- Kitab Fara’idh (hilang)
- Kitab an-Nikah (dicetak di Istanbul)
- Fatawa Sulaiman Kurdi
- Sabilal Muhtadin – karyanya yang paling masyhur, dicetak di Mekkah dan Mesir
Bidang Lain:
- Kanzul Ma’rifah (Tasawuf)
- Ilmu Falak (astronomi Islam)
- Mushaf Al-Qur’an dalam tiga jilid
Wafat dan Warisan Keilmuan
Setelah puluhan tahun mengabdi kepada agama dan masyarakat, Syekh Muhammad Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H (13 Oktober 1812 M) dalam usia 105 tahun. Ia dimakamkan di Desa Kalampayan, Martapura.
Warisan keilmuan dan perjuangannya terus hidup melalui murid-murid dan keturunannya, menjadikan beliau sebagai sosok sentral dalam sejarah Islam di Kalimantan dan Nusantara.










