Fikih Islam yang kita kenal hari ini banyak berkembang melalui mazhab-mazhab fikih besar seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mazhab-mazhab ini menyebar luas di dunia Islam dan berjasa besar dalam mengembangkan ilmu fikih lewat kitab-kitab, pengajaran, serta kajian mendalam. Namun, sayangnya, perhatian terhadap fikih sahabat dan tabi’in jauh lebih kecil dibandingkan perhatian terhadap fikih mazhab.
Hal ini membuat sebagian pelajar dan peneliti punya anggapan bahwa fikih baru matang pada masa mazhab. Sementara itu, masa sebelumnya, yaitu masa sahabat dan tabi’in, dianggap hanya berisi pendapat yang tersebar dan belum terstruktur. Pandangan ini sebenarnya tidak tepat. Justru, hari ini kita sangat membutuhkan untuk kembali menelaah warisan fikih sahabat dan tabi’in, khususnya dalam hal metode ijtihad dan pendekatan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan.
Fikih Mazhab adalah Lanjutan Fikih Sahabat
Perlu dipahami, mazhab fikih sejatinya adalah kelanjutan dari pemikiran para sahabat dan tabi’in. Tapi karena fokus pembelajaran lebih banyak diarahkan pada mazhab. Fikih ini nyaris tidak muncul dalam kajian-kajian resmi, kecuali dalam penelitian terbatas seperti tesis atau disertasi tentang satu dua tokoh sahabat atau tabi’in secara individu.
Salah satu tantangan besar dalam mengkaji fikih sahabat dan tabi’in adalah minimnya literatur yang menghimpun pendapat-pendapat mereka secara sistematis. Kalaupun ada, umumnya hanya menyebutkan pendapat mereka secara ringkas tanpa dijelaskan latar belakangnya, dalilnya, ataupun metode berpikirnya. Padahal, semua itu penting untuk memahami logika hukum yang mereka gunakan.
Kitab-Kitab yang Memuat Fikih Sahabat dan Tabi’in
Walau belum sebanyak literatur fikih mazhab, ada beberapa kitab penting yang merekam fikih sahabat dan tabi’in, antara lain:
- Kitab Hadis: seperti Muwaththa’ Imam Malik, Musannaf Abdurrazzaq, dan Musannaf Ibn Abi Syaibah.
- Kitab Syarah Hadis: seperti at-Tamhid dan al-Istidzkar karya Ibn ‘Abdil Barr.
- Kitab Fikih: seperti al-Umm karya Imam Syafi’i, al-Mudawwanah, dan al-Muhalla karya Ibn Hazm.
- Kitab Tafsir: yang membahas ayat-ayat hukum seperti tafsir Sufyan ats-Tsauri dan tafsir ath-Thabari.
- Kitab Kontemporer: seperti Mausu‘ah Atsar as-Sahabah dan al-‘Atiq Jami‘ Fatawa as-Sahabah.
Namun, semua itu masih bersifat tersebar dan belum cukup sistematis untuk memudahkan pemahaman bagi generasi masa kini.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Ada dua langkah besar yang bisa dilakukan untuk menghidupkan kembali fikih sahabat dan tabi’in:
1. Menyusun Ensiklopedia Fikih Sahabat dan Tabi’in
Ensiklopedia ini idealnya mencakup seluruh bab fikih, memuat dalil-dalil yang mereka gunakan, perbedaan pendapat, serta pengaruh fikih mereka terhadap mazhab-mazhab setelahnya.
2. Menggali Metodologi Ijtihad Mereka
Dibutuhkan kajian yang meneliti bagaimana cara para sahabat dan tabi’in dalam mengambil hukum, lalu dibandingkan dengan metode ushul fikih yang berkembang kemudian. Dari sini kita bisa melihat bagaimana warisan metode lama ini bisa digunakan dalam menjawab tantangan zaman sekarang.
Penting, Tapi Sering Dilupakan
Menghidupkan fikih sahabat dan tabi’in bukan berarti menolak atau meninggalkan mazhab. Justru ini adalah langkah lanjutan bagi yang sudah mempelajari mazhab dengan baik. Fikih para sahabat memiliki keistimewaan: mereka hidup dekat dengan masa wahyu, lebih memahami konteks hukum secara langsung, dan metode ijtihad mereka lebih jernih serta orisinal.
Yang penting untuk dipelajari bukan cuma pendapat-pendapat mereka, tapi cara berpikir mereka dalam menggali hukum. Juga bagaimana mereka menyambungkan dalil dengan realitas, menjaga keseimbangan antara teks dan tujuan syariat (maqashid syariah), dan membentuk tradisi hukum yang kokoh.
Kita hari ini sangat butuh menghidupkan cara berpikir itu, bukan hanya untuk nostalgia sejarah, tapi untuk menjawab kebutuhan umat dengan pendekatan hukum yang tajam, relevan, dan tetap berpijak pada nilai-nilai Islam yang otentik.













