Perkembangan sistem moneter dunia telah membawa perubahan besar dalam bentuk harta yang dimiliki umat manusia. Jika pada masa lampau alat tukar utama adalah emas dan perak (dinar dan dirham), maka dewasa ini kita mengenal uang kertas dan uang logam sebagai alat tukar sah. Pertanyaannya, bagaimana hukum zakat terhadap uang kertas, saham, dan obligasi dalam pandangan fikih Islam?
Penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili
Pembahasan ini merujuk pada pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhaili, seorang ulama besar dalam bidang fikih dan ushul fikih asal Suriah, yang dituangkan secara rinci dalam karya monumentalnya Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Kitab ini menjadi rujukan utama dalam fikih kontemporer karena memadukan pendapat dari empat mazhab besar dengan dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Syekh Wahbah menjelaskan bahwa uang kertas dan logam modern, meskipun tidak memiliki nilai intrinsik seperti emas dan perak, tetap dianggap sebagai harta yang sah dan wajib dizakatkan. Hal ini karena fungsi dan penggunaannya yang telah menggantikan dinar dan dirham dalam sistem ekonomi global.
Menurutnya, zakat atas uang kertas hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah. Uang tersebut bukan hanya sekadar alat tukar, tetapi juga harta yang dimiliki dan dimanfaatkan secara langsung oleh pemiliknya. Oleh karena itu, menyamakannya dengan utang yang belum diterima adalah qiyas yang tidak tepat.
Menolak zakat atas uang akan berujung pada kesimpulan keliru: bahwa jenis harta paling umum di zaman ini justru tak terkena kewajiban zakat. Ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan dan tujuan syariat.
Nishab Zakat Uang Kertas
Nishab zakat uang kertas ditaksir berdasarkan nishab emas yang ditetapkan syariat, yakni 20 dinar atau sekitar 85 gram emas murni. Sebagian ulama juga menimbang dengan perak (595 gram) karena nilainya lebih rendah dan lebih bermanfaat bagi kaum fakir. Namun, Syekh Wahbah Az-Zuhaili lebih condong pada taksiran emas, karena lebih sesuai dengan standar kebutuhan hidup dan nishab zakat ternak.
Zakat hanya wajib jika harta mencapai nishab, telah melewati satu haul (satu tahun hijriah), dan bebas dari utang. Madzhab Hanafiyah menambahkan syarat bahwa harta itu melebihi kebutuhan pokok seperti nafkah harian, pakaian, tempat tinggal, dan alat kerja.
Zakat Saham dan Obligasi
Saham adalah bagian kepemilikan dalam suatu perusahaan. Pemilik saham berhak atas keuntungan dan modal perusahaan. Syekh Wahbah menyatakan bahwa transaksi saham hukumnya boleh secara syar’i, selama tidak melibatkan unsur haram seperti riba dan penipuan.
Zakat atas saham wajib dikeluarkan sebesar 2,5% setiap tahun dari nilai pasar saham dan keuntungannya, jika mencapai nishab. Jika pemiliknya tidak memiliki sumber penghasilan lain, seperti janda atau anak yatim, maka batas minimal kehidupan tetap dipertimbangkan.
Untuk perusahaan produksi (seperti pabrik gula atau percetakan), nilai saham yang dizakatkan ditaksir setelah dikurangi nilai bangunan, alat produksi, dan aset tetap lainnya. Maka zakatnya bukan dari seluruh nilai saham, tapi dari nilai bersih yang bisa diperdagangkan.
Obligasi, menurut Syekh Wahbah, adalah surat utang yang diterbitkan perusahaan atau negara, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan berupa bunga. Transaksi obligasi hukumnya haram karena mengandung riba. Namun, jika seseorang telah memilikinya, maka zakat tetap wajib atas nilainya sebagai bentuk piutang yang kuat dan diakui.
Unsur riba dalam obligasi terletak pada bunga tetap yang dijanjikan kepada pemegang obligasi, tanpa memperhatikan untung atau rugi dari pihak yang menerbitkannya. Artinya, pemilik obligasi akan selalu menerima tambahan (bunga) dari pokok uang yang ia pinjamkan—ini serupa dengan riba qardh (bunga pinjaman), yang diharamkan dalam Islam.
Mayoritas ulama (selain Malikiyah) mewajibkan zakat atas piutang seperti ini. Zakatnya adalah 2,5% dari nilai obligasi setiap tahun, atau bisa pula dikeluarkan dari hasil investasinya seperti zakat pertanian: 10% dari laba bersih.
Dua Metode Zakat Saham
Dalam praktik zakat saham, Syekh Wahbah menyebutkan dua pendekatan:
- Jika pemilik saham dianggap sebagai pedagang: zakatnya 2,5% dari total nilai pasar dan keuntungan saham.
- Jika perusahaan dianggap sebagai produsen: zakat bisa ditunaikan 10% dari laba bersih, mengqiyaskan dengan hasil pertanian yang berkembang secara otomatis.
Penutup
Perubahan bentuk harta tidak mengubah prinsip zakat dalam Islam. Uang kertas, saham, dan obligasi adalah bagian dari kekayaan modern yang tetap wajib dizakatkan. Menunaikan zakat bukan hanya kewajiban ibadah, tapi juga bentuk keadilan sosial dan pembersihan harta.
Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu, zakat atas jenis harta ini tidak bisa diabaikan. Kewajiban ini harus tetap dijaga sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan tanggung jawab sosial terhadap umat.












